Thursday, April 19, 2012

Modal Sampah Bisa Keliling Dunia

Ide apa yang ada muncul di benak ketika Anda mempunyai sebuah cukuran kumis bekas dan tutup deodoran bekas? Atau sebuah paralon bekas, fiber, dan per bekas? Mungkin Anda akan langsung membuangnya karena barang-barang tersebut hanya sampah yang tak berguna lagi. Tetapi, di tangan seniman unik ini, barang tersebut bisa ‘disulap’ menjadi sebuah alat musik hingga tidak hanya berakhir sebagai sampah belaka.
Dodong Kodir (60) adalah seniman unik tersebut. Di tangan kreatifnya, beragam alat musik dibuat dengan bermodalkan limbah, apa pun jenisnya. Sejak tahun 1980-an Dodong mengaku sudah membuat alat musik yang bahannya ia ambil dari sampah atau limbah.
“Awalnya cuma iseng bikin sulangsong karena teman butuh instrumen suling tapi yang suaranya agak nge-bas untuk mengiringi tarian,” ujarnya saat ditemui di rumahnya di Cisitu Lama, Bandung, Senin (12/3).
Berawal dari keisengan tersebut, ternyata sulangsong (suling asal songsong) buatannya banyak dipuji teman-temannya dan kerap dipakai sebagai salah satu instrumen untuk mengiringi tarian. Dodong pun semakin termotivasi untuk membuat alat-alat musik unik lainnya. Selain ingin membuat sesuatu yang unik dan belum pernah ada, alasan lainnya membuat alat musik dari limbah ini adalah karena kecintaannya pada lingkungan sekitar.
“Idenya ya dari lingkungan sekitar saja. Saya lihat anak kecil menangis, muncul ide untuk buat alat musiknya. Saya lihat tsunami, muncul ide untuk membuat bunyinya. Ini juga sekaligus sebagai salah satu bukti peduli lingkungan,” lanjutnya.
Bunyi-bunyi yang dihasilkan alat musik buatan Dodong ini terbilang unik dan mungkin tak bisa dihasilkan oleh alat musik yang umum kita temukan. Selain itu, setiap alat musik buatannya ini menyimpan cerita tersendiri di balik pembuatannya. Misalnya tornadong, alat musik ini menghasilkan suara gemuruh yang menggelegar seperti petir. Dodong membuatnya sekitar tahun 1999 ketika ada bencana angin tornado di Amerika Serikat.
“Waktu itu lihat berita di tv kalau ada tornado di Amerika. Dari situ kepikiran buat bikin suaranya,” ujar seniman kelahiran Tasikmalaya, 8 November 1961 ini.
Selain tornadong, ada juga sagara. Alat musik yang satu ini bisa menghasilkan bunyi ombak yang ribut. Jika tornadong terinspirasi dari bencana tornado, maka sagara ini terinspirasi dari bencana tsunami yang menghancurkan Aceh, 2004 lalu.
“Ternyata limbah itu kaya bunyi dan punya pesan tersendiri. Misalnya ini, tornadong dan sagara kalau dibunyikan seperti suara bencana. Pesannya, jika kita tidak menjaga lingkungan, bukan tidak mungkin bencana akan datang,” ujar bapak tiga anak ini.
Selain alat musik yang menghasilkan suara bernuansa alam, ada juga alat musik yang menghasilkan suara-suara binatang. Kotrek misalnya, alat musik yang hanya terbuat dari cukuran kumis bekas dan tutup deodoran bekas ini bisa menghasilkan bunyi kodok. Selain itu ada dengerdong, alat musik yang bisa menghasilkan suara serangga. Ketika World Cup 2010 berlangsung di Afrika Selatan, ia pun membuat alat musik yang berbunyi auman singa.
Hal unik lainnya dari alat musik buatan Dodong ini selain bunyinya adalah namanya. Beberapa alat musik ciptaannya diberi akhiran ‘dong’, misalnya bassdong, alpedo (alat petik dodong), tornadong, dengerdong, dan lain-lain. Menurutnya, ini sebagai ciri khas bahwa alat musik tersebut adalah buatannya.
Berkat kreativitasnya dalam membuat alat-alat musik limbah ini, Dodong pun sempat berkelana ke berbagai negara di dunia. Tahun 1996, untuk pertama kalinya ia pergi ke Denmark. Di Kopenhagen, ia mengiringi instalasi seni rupa dalam sebuah Pameran Kontainer. Kemudian di penghujung tahun yang sama, ia pergi ke Jepang untuk mengiringi teater musikal kolaborasi tiga negara, yaitu Jepang, Filipina, dan Indonesia. Saat itu ia diajak oleh Teater Payung Hitam Bandung.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya 28 September 2006, ia berkesempatan mengunjungi Yunani untuk mengikuti festival wayang. Masih di tahun yang sama, ia juga sempat melancong ke negerinya Menara Eiffel, Perancis. Saat itu ia ikut berpartisipasi dalam acara 100 tahun mengenang Mozart sekaligus 60 tahun UNESCO. Di ajang orkestra ini, ia pun sempat satu panggung dengan beberapa musisi ternama dunia.
Tahun 2008, giliran Vietnam yang ia kunjungi. Saat itu Dodong mengikuti acara “The First International Marionette Festival”, sebuah festival wayang internasional yang digelar di Hanoi. Masih di tahun yang sama, ia pun melancong ke Siprus untuk mengikuti festival wayang juga. Tahun 2009, Dodong berkesempatan ikut dalam festival wayang lainnya di negeri matador Spanyol, yaitu “Festival Internacional de Titenes de Canarios”.
Kemudian pada 2010 ia berkunjung ke Belgia. Saat itu ia datang bersama rombongan yang diketuai oleh Didi Petet. Tujuannya untuk memperkenalkan batik, mengenang Rendra, dan mencari dana untuk gempa Sumatera. Selain itu, mereka pun sempat main musik di Museum Instrument and Music (MIM) di sana. Di beberapa negara seperti Siprus, Spanyol, dan Jepang, Dodong juga menyimpan beberapa alat musik buatannya di museum.
“Tinggal ke Arab aja nih, buat naik haji. Hehe,” ujarnya sambil terkekeh.
Saat ini, Dodong sendiri sedang membangun sebuah galeri yang akan ia gunakan untuk menyimpan karya-karyanya yang jumlahnya kurang lebih 100 buah itu. Ia ingin agar karyanya bisa dinikmati dan berguna bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk orang lain. Dalam membangun galeri yang berlokasi di Jalan Cisitu Lama tersebut, Dodong mengaku mendapat bantuan dana juga dari gubernur Jabar, Ahmad Heryawan. Desember tahun lalu ia bersama beberapa seniman lain mendapatkan dana hibah renovasi.
“Ya itu salah satu bentuk perhatian dari pemerintah, walaupun ternyata masih kurang untuk membuat galeri ini,” ujar mantan pangrawit di STSI Bandung ini.
Kendala dana pun ia hadapi bukan hanya untuk membangun galeri, tetapi untuk membuat hak paten atas alat-alat musik ciptaannya. Sampai saat ini belum satu pun alat musik buatannya yang memiliki hak paten.
“Belum dipatenkan karena mahal biayanya. Tapi ke depannya ya ingin dipatenkan, kalau ada duitnya. Hehe,” ujarnya. ***

Catatan: Ini tulisan udah lama sebenernya, sekitar sebulan lalu. Baru sempet dipost sekarang, lumayan lah daripada dibuang. :D Tapi sayangnya foto-fotonya hilang entah kemana :(





Monday, March 5, 2012

Lewat Fisika, Hokky Buktikan “Rasa Sayange” Milik Indonesia


Beberapa hari lalu, tepatnya Kamis (1/3) pagi, linimasa di jejaring sosial Twitter ramai membincangkan lagu Rasa Sayange hingga lagu tersebut menjadi trending topic Twitter di Indonesia. Hari itu masyarakat Indonesia bersorak karena salah satu ilmuwan mudanya, Hokky Situngkir, telah berhasil membuktikan secara ilmiah melalui penelitiannya bahwa lagu Rasa Sayange adalah lagu tradisional asli milik Indonesia, tepatnya Maluku.
Hokky Situngkir

Pembuktian ilmiah melalui fisika ini seolah mematahkan klaim negeri tetangga Malaysia yang sempat memakai lagu tradisional ini dalam kampanye pariwisatanya, "Malaysia Trully Asia", akhir 2007 lalu. Saat itu masyarakat Indonesia geram dan menuduh Malaysia telah mencuri salah satu kebudayaan asli Indonesia karena ‘klaim’ lagu Rasa Sayange tersebut. Peristiwa ini juga seolah memperpanjang daftar perselisihan dua negara serumpun yang kerap bersitegang karena ‘saling klaim’, baik itu budaya maupun wilayah teritorial tersebut.

Seolah tertantang, Hokky Situngkir bersama rekan-rekan peneliti di Bandung Fe Institute melakukan penelitian mengenai keaslian lagu Rasa Sayange tersebut. Walaupun demikian, Hokky mengatakan bahwa tujuan utama dari penelitiannya tersebut bukanlah untuk membuktikan dari mana lagu Rasa Sayange itu berasal, melainkan ingin membuat suatu pusat data kebudayaan Indonesia dan menunjukkan keberagaman budaya yang menarik dari Indonesia. Ia pun tak ingin bila penemuannya ini justru dipolitisir, baik itu oleh pihak Indonesia maupun Malaysia.

“Kita ingin menggali aspek-aspek kompleks dari pengetahuan kolektif orang-orang Indonesia. Dan itu bisa dibilang juga pertama di Indonesia. 60 tahun lebih kita merdeka, kita belum punya pusat data kebudayaan,” ujar Hokky ketika ditemui di Bandung Fe Institute, Jalan Sarimadu, Sarijadi, Bandung, Sabtu (3/3) lalu.

Hokky dan kawan-kawannya di Bandung Fe, sejak didirikan tahun 2004, sudah melakukan penelitian mengenai berbagai hal sosial, termasuk mengumpulkan data-data kebudayaan Indonesia. Bandung Fe mengumpulkan orang-orang dan membentuk semacam organisasi, yaitu Inisiatif Budaya Kepulauan Indonesia atau Indonesian Archipelago Culture Inisiative (IACI). Melalui pengumpulan data yang bersifat partisipatif, mereka akhirnya bisa mengumpulkan beberapa data kebudayaan, tidak hanya lagu daerah tetapi juga pakaian, tarian, alat musik, bangunan arsitektur, hingga obat-obatan tradisional.
Menjelaskan phylomemetic.

Penelitian mengenai lagu-lagu tradisional sendiri menurut Hokky sudah dimulai sejak tahun 2008. Dalam penelitian ini sendiri Hokky menggabungkan berbagai disiplin ilmu, tidak hanya bidang yang ia kuasai yaitu fisika, melainkan bidang lainnya seperti matematika, antropologi, etnomusikologi, dan lain-lain. Sebelum data dimasukkan ke komputer, terlebih dahulu diverifikasi keasliannya oleh para budayawan dan antropolog. Menurutnya, sebuah lagu tradisional adalah sebuah kriya yang diciptakan secara kolektif oleh masyarakat, jadi tak ada penciptanya.

“Lagu tradisional adalah suatu entitas kompleks kebudayaan, karena disusun oleh banyak hal. Ada nada, lalu ada sekuennya, ada juga aksen, lirik, timbre (warna suara yang mengikatnya), ada juga jarak dari penyanyi dan pendengarnya. Nah, dari situ kita lihat apa kira-kira unsur elementer yang bisa membedakan satu lagu dengan lagu lain sebagai abstraksi kognisi kolektif dari masyarakat tersebut. Ternyata bukan nada, melainkan sekuennya,” ujar alumni Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung angkatan 1996 itu.

Lalu setelah data terkumpul, ia melakukan semacam pemetaan dari lagu-lagu tradisional tersebut. Lagu-lagu tradisional tersebut ia bedah menjadi bagian-bagian terkecil. Data dimasukkan ke komputer dengan menggunakan metode dalam studi mekanika statistik untuk dicari parameter yang membentuk pita meme dari sebuah lagu. Adapun lima parameter yang membentuk suatu pita meme sebuah lagu adalah koefisien Zipf-Mandelbrot, girasi, koefisien spiral, entropi, dan negentropi.

Hokky mengatakan bahwa ia menyerahkan sepenuhnya pengolahan data kepada komputer agar unsur subjektivitas dalam penelitiannya bisa dikurangi. Setelah itu, baru ia dan kawan-kawannya menganalisis hasil dari data yang telah diolah tersebut secara manual. 

“Jadi ketahuan sekuen nadanya lagu A mirip dengan yang mana, nanti kelihatan trennya karena mereka mengelompok dengan sendirinya. Jadilah peta lagu-lagu tradisional Indonesia,” lanjutnya sambil memperlihatkan gambar pohon kekerabatan (phylomemetic) lagu tradisional Indonesia yang dibuatnya.
Pohon Kekerabatan Lagu Tradisional Indonesia (courtesy of Bandung Fe)

Dari pohon kekerabatan lagu tradisional Indonesia tersebut terlihat bahwa lagu Rasa Sayange tergabung dalam kelompok lagu-lagu dari daerah Maluku. Letaknya yang agak jauh dengan lagu-lagu berlanggam Melayu menunjukkan bahwa unsur kekerabatannya juga agak jauh.

“Nah ini yang menarik bagi kita yang membuat kita juga agak sontak sekaligus senang. Jadi kemiripan itu terkluster sendiri. Lagu tersebut mengelompok sendiri sesuai dengan daerah. Jadi memang ada karakteristik dari satu lagu dengan lagu lain itu yaitu ketika dia dihasilkan dari kumpulan kognisi kolektif yang sama dari kelompok etnis yang sama,” ujar cucu komponis besar Indonesia, L. Manik ini.

Sebelum membuat pohon kekerabatan lagu tradisional Indonesia, Hokky sendiri pernah membuat peta keragaman tekstil (batik) Indonesia. Penelitiannya sendiri menggunakan metode yang mirip. Bahkan menurut Hokky, metode penelitiannya ini juga kini sudah dipakai di negara lain untuk meneliti berbagai hal.
Pohon Kekerabatan Tekstil Tradisional Indonesia (courtesy of Bandung Fe)

“Ada kemarin di Kanada yang mau bikin peta kekerabatan game komputer di dunia dengan metode yang sama seperti yang kita gunakan. Ada juga disertasi pola struktur arsitektur bangunan-bangunan kuno di semanjung Itali. Mungkin di situlah letak kebaruan penelitian kita. Pemetaan seperti ini banyak dipengaruhi oleh pengkajian biologi evolusioner,” lanjut peneliti yang lahir 7 Februari 1978 ini.

Hokky mengakui bahwa pohon kekerabatan tersebut belum memuat semua lagu tradisional Indonesia karena data yang terkumpul baru sekitar 200-300an lagu. Ia berharap agar masyarakat Indonesia bisa ikut berpartisipasi untuk ikut mengumpulkan data kebudayaan Indonesia. Masyarakat bisa menyumbangkan data kebudayaan, baik itu lagu, alat musik, pakaian daerah, tarian, atau adat istiadat lainnya ke situs www.budaya-indonesia.org.

“Mendata kebudayaan Indonesia tuh terlalu mahal kalau dilakukan sendiri. Itu sebabnya juga mungkin kenapa pemerintah sampai sekarang juga belum punya bank data karena terlalu mahal, terlalu besar. Nah generasi kita tuh diuntungkan dengan adanya internet jadi bisa ala wikipedia, siapa pun boleh mensubmit data,” ujarnya.

Ia juga berharap hasil penelitiannya ini bermanfaat tidak hanya bidang sains saja, tetapi di semua bidang terutama bidang sosial dan humaniora lainnya. Menurutnya, selama ini pengetahuan atau ilmu yang ada itu kebanyakan diimpor dari Barat. Padahal, lanjutnya, Indonesia pernah menjadi pusat penyebaran agama Budha atau Hindu, pernah juga membangun Borobudur yang sangat megah.

“Itu kemana ilmunya? Mungkin ini terkodekan dalam lagu-lagu, di prasasti, di bangunan kuno, di relief, di batik, dan lain-lain. Ini yang mau kita gali. Siapa tahu minimal kita punya pemetaan, tapi kalau ada ini jadi satu keuntungan buat kita. Biar bisa kita padukan dengan ilmu dari barat yang kita punya,” ujarnya. ***

Catatan: Tulisan ini dimuat di Tribun Jabar edisi Selasa (6/3) halaman 1.

Asal Usul Ungkapan "Makan Hati" versi Gue

"Ah makan ati gw kalo nge-sms dia, kagak pernah dibales!" - sebut saja Bunga, remaja lagi galau.
Mungkin di antara kalian semua pernah ngerasain seperti apa yang dirasakan Bunga. Kalian pasti pernah ngerasain yang namanya "Makan Hati", baik dalam arti sebenarnya maupun arti kiasan. Makan Hati itu semacam ungkapan yang berarti kesel, dongkol, karena perbuatan orang lain. Kalo kata wikipedia Indonesia, peribahasa lengkapnya "Makan Hati Berulam Jantung" artinya suasana hati sangat sedih; seperti orang tua melihat kelakuan anaknya yang buruk yang sukar diperbaiki. Kalo kata wikipedia Malaysia, artinya bersusah hati kerana perbuatan orang lain yang menyedihkan hati. Sama aja sih sebenernya. (Plis jangan ampe ada berita kalo ungkapan aja saling klaim milik siapa).

Oke, terus? Kenapa gw tiba-tiba ngomongin peribahasa itu? Sebenarnya ini pikiran gw pas lagi jobless aja. Kebetulan gw juga waktu itu lagi makan hati alias dongkol karena berita gw gagal naek gara-gara spacenya dipake iklan. Mungkin karena berita gw gak penting juga. Tapi itu lembaran khusus, 3 halaman ilang semua dipake iklan. Sebagai wartawan baru, itu pengalaman baru bagi gw karena baru pertama kali ngerasain begitu. Tapi ya sudahlah mau gimana lagi, toh media juga gak bakalan bisa hidup tanpa iklan. Hanya saja pasti bagian redaksi alias berita yang bakal jadi korban.

Cukup curhatnya. Nah pas lagi dongkol itu, tiba-tiba gw kepikiran "Kenapa kalo kesel itu istilahnya 'makan hati' ?". "Apa karena rasa hati itu pait?" Lah gw makan hati yang disemur buatan nyokap enak-enak aja tuh. Kalo makan hati itu diartikan seperti itu karena rasa hati yang pait, kenapa peribahasanya nggak 'makan pare' atau 'makan brotowali' yang jelas-jelas lebih pait? *emotikon kesel* Sebenernya emang gak penting juga sih mikirin yang kayak gini, tapi ini terus mengusik gw.

Dalam perjalanan balik ke rumah, tiba-tiba gw teringat cerita legenda rakyat Jawa Barat, yaitu Sangkuriang. Cerita singkatnya gini, ada seorang putri raja yang cantik bernama Dayang Sumbi. Banyak raja yang ingin melamarnya, tapi semuanya ditolak. Raja-raja yang galau tersebut pun berperang. Sementara itu si Dayang Sumbi pergi mengasingkan diri ditemani seekor anjing jantan bernama Si Tumang.

Satu ketika Dayang Sumbi menenun di atas pohon. Tiba-tiba toropong (torak) yang lagi dipakenya jatuh ke bawah. Karena dia males buat ngambil, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang jatuh itu kalo cowok, akan dijadikan suaminya. Lalu ternyata si Tumang yang ngambilin torak itu. Dayang Sumbi yang udah kepalang janji akhirnya menikah dengan si Tumang dan melahirkan bayi laki-laki diberi nama Sangkuriang.

Sangkuriang ceritanya udah gede. Lalu disuruh ibunya, Dayang Sumbi, untuk berburu dengan ditemani si Tumang. Sangkuriang belum tau kalo si Tumang itu bapaknya. Sampai di hutan, si Tumang disuruh ngejar babi betina, tapi dia gak mau. Karena kesel, dibunuhlah si Tumang oleh Sangkuriang. Hatinya dibawa dan dikasih ke Dayang Sumbi yang kemudian memasak dan memakannya. Pas Dayang Sumbi tau kalo hati yang dia makan itu hati si Tumang, suaminya, ia murka dan memukul kepala Sangkuriang ampe berdarah. Sangkuriang pun diusir dan pergi mengembara....

Oke kita stop sampai di sini dulu ceritanya, buat yang mau baca cerita lengkapnya cari aja sendiri buku cerita rakyat atau baca di sini. Kalo gw cermati, dari cerita itu, gw mikir si Dayang Sumbi kesel banget ampe mukul anaknya sendiri ampe berdarah gara-gara makan hati (dalam arti sebenarnya) suaminya sendiri, si Tumang. Dari kejadian itu, dulu mungkin tiap orang yang lagi kesel diledekin sama temen-temennya, "Kenapa sih dongkol banget kayaknya, makan hati lu ya?" Gitu kali. Karena sering dipake orang-orang, itu jadi turun temurun dari jaman Sangkuriang ampe jaman sekarang. (hey, it's #rhyme!) Mungkin kalo jaman sekarang "Lagi PMS" atau "Lagi dapet" itu konotasinya bisa aja jadi "Lagi kesel" atau "lagi marah".

Nah IMSO (in my sotoy opinion), mungkin dari sinilah asal mula kenapa perasaan kesel, sedih, dongkol, dan sejenisnya karena perbuatan orang lain itu diistilahkan dengan "Makan Hati". Entah bener apa nggak, kebetulan atau nggak, itu cuma analisis dan pemikiran iseng bin ngasal gw.

Wednesday, February 29, 2012

Video Kompilasi Jalan-Jalan #jurnal06 dan Logisteam 2008-2012

Ini video rangkuman jalan-jalan anak-anak Jurnal '06 dan Logisteam tahun 2008-2012. Video dibuat oleh Aditya Ardiwinata a.k.a. Agun. Sebenarnya masih banyak perjalanan yang nggak masuk di video ini karena emang nggak ada video atau dokumentasinya atau si Agun keburu males. Semoga persahabatan ini tetap abadi sampai akhir hayat kita, kawan!

Peringatan: Kebanyakan jalan-jalan dapat menyebabkan kanker (kantong kering), gangguan akademis, dan lama lulus kuliah.

Monday, February 27, 2012

League of Change: Menghapus Stigma dan Diskriminasi dengan Sepak Bola

Ini gw post salah satu liputan iseng tentang League of Change (Liga Perubahan), sebuah turnamen sepak bola yang diikuti Orang dengan HIV-AIDS (ODHA), mantan pengguna NAPZA, dan orang termarjinalkan lainnya, pertama di Indonesia. Iseng karena emang awalnya gak niat buat ngeliput. Oiya tulisan ini juga dimuat di Tribun Jabar edisi Senin (27/2).

Suasana Kota Bandung Minggu (26/2) pagi cukup cerah. Di sepanjang jalan Ir. H. Juanda atau yang lebih dikenal dengan Dago seperti biasa diadakan Car Free Day (CFD). Tak jauh dari sana, tepatnya di Lapangan Pulosari, Jalan Balubur Bandung pagi itu suasana tampak berbeda. Masyarakat terlihat berkumpul mengelilingi sebuah lapangan sepak bola mini di bawah jalan layang Surapati. Ada keramaian apa di sana? Selidik punya selidik ternyata di sana dilangsungkan League of Change (Liga Perubahan) 2012.

Logo League of Change. (Foto courtesy of persibholic.com)
League of Change (LoC) ini merupakan sebuah liga sepak bola jalanan (street soccer) yang diselenggarakan oleh Rumah Cemara, sebuah organisasi berbasis komunitas untuk Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) dan pengguna Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA). Turnamen street soccer ini merupakan sebuah kompetisi yang pertama digelar di Indonesia. Dalam turnamen ini, sebanyak 120 peserta ikut ambil bagian. Mereka tidak hanya berasal dari Jawa Barat, tetapi dari provinsi lain, yaitu DKI Jakarta, Banten, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan DI Yogyakarta.
Masyarakat menonton League of Change di Lapangan Pulosari, di bawah jalan layang Pasupati, Kota Bandung, Minggu (26/2).

 Deradjat Ginandjar Koesmayadi, Founder Rumah Cemara, mengatakan bahwa tujuan diselenggarakannya LoC ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada ODHA, mantan pengguna NAPZA, dan orang termarjinalkan lainnya untuk bisa meningkatkan kualitas hidupnya. Selain itu, juga untuk mengurangi stigma dan diskriminasi masyarakat kepada mereka.

“Ini memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa kami pun bisa melakukan sesuatu yang positif,” ujar Ginan, sapaan akrab Deradjat, ketika ditemui di tempat acara, Minggu (26/2) pagi.

Selain itu, menurut Karmala Wardani humas Rumah Cemara, turnamen ini juga merupakan ajang seleksi pemain untuk mewakili Indonesia dalam ajang Homeless World Cup 2012 yang akan dilangsungkan di Meksiko bulan September mendatang. Dari turnamen ini nantinya akan dipilih 15 orang. Selanjutnya, mereka akan diseleksi lagi dan diwawancara hingga mengerucut menjadi 8 orang terbaik untuk mewakili Indonesia di Meksiko.

“Rumah Cemara yang ditunjuk sebagai National Organizer Indonesia Homeless World Cup harus mempopulerkan kegiatan ini. Tahun 2011 kemarin, yang berangkat kebanyakan dari Bandung dan saya rasa itu belum merepresentasikan Indonesia. Walaupun belum diikuti semua provinsi, tapi tahun ini ada 8 provinsi yang ikut. Lebih banyak dari tahun kemarin,” ujar Karmala. 

Pada Homeless World Cup 2011 di Perancis, Indonesia yang diwakili Rumah Cemara ikut berpartisipasi. Dalam kejuaraan yang diikuti 64 negara itu, Indonesia berada di peringkat ke-6 serta meraih penghargaan best newcomer team. Selain itu prestasi Indonesia semakin lengkap setelah Ginan juga terpilih sebagai pemain terbaik.
Pertandingan pembuka Sumut vs DI Yogyakarta

Sekitar pukul setengah sepuluh pagi, turnamen LoC dibuka secara simbolis dengan penendangan bola ke gawang oleh Brigjen Polisi Anang Pratanto selaku perwakilan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jawa Barat. Sebelumnya, ada sambutan dari Camat Bandung Wetan, Yayan Ahmad, kemudian dari direktur Rumah Cemara, Ikbal Rahman. Hadir pula dr. Rita, Wakil Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung, dan Inang Winarso, Asisten Deputi Program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional. Dalam sambutannya, semua menyambut positif kegiatan ini.

“Ini satu inspirasi bagi kita semua. Mungkin di setiap peringatan Hari AIDS Nasional tidak harus diisi dengan upacara-upacara yang sifatnya seremonial, tetapi justru diisi dengan kegiatan-kegiatan pertandingan sepakbola seperti ini yang lebih konkrit bagi masyarakat,” ujar Inang Winarso.

Beraksi
Di lapangan terbuka dengan panjang 25 meter dan lebar 15 meter dan beratapkan jalan layang, para peserta tampak antusias mengikuti turnamen yang menggunakan sistem setengah kompetisi ini. Tampil pada pertandingan pembuka, tim dari DI Yogyakarta melawan tim dari Sumatera Utara. Dalam permainan mengolah kulit bundar 4 lawan 4 tersebut berakhir dengan kemenangan Sumatera Utara dengan skor 6-0. Sedangkan pada pertandingan kedua, tim dari Jawa Barat berhasil melibas tim dari Sulawesi Selatan dengan skor telak, 11-1.

Merangkai mimpi ke piala dunia

Antusiasme dan semangat juga ditunjukkan oleh para peserta yang datang jauh dari luar pulau lainnya, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. Kapten tim Sulawesi Selatan, Rahman Rahim, mengatakan mereka datang jauh dari Makassar dengan tujuan utama untuk berpartisipasi dan menunjukkan eksistensi mereka.

 “Di Makassar, stigmanya masih ada cuman tidak sebesar dulu. Dengan kegiatan ini kita ingin memperlihatkan kepada masyarakat Sulawesi bahwa kita bisa melakukan hal yang positif,” ujar Rahman yang juga merupakan Koordinator Yayasan Peduli Dukungan Sebaya (YPDS) Makassar.

 Menjadi juara memang bukan tujuan utama Rahman dan kawan-kawannya datang jauh-jauh ke Bandung. Seperti halnya yang disampaikan Karmala, bahwa LoC bukanlah semata-mata sebuah kompetisi sepakbola untuk meraih prestasi melainkan sebuah kampanye sosial untuk memberikan kesempatan yang sama kepada kelompok marjinal untuk mengaktualisasikan dirinya melalui sepakbola.

Kita tidak bisa hanya memberikan penyuluhan karena pengetahuan dari masyarakat juga sangat terbatas. Jadi perlu pendekatan yang sangat taktis dan strategis, oleh karena itu kita menggunakan sepakbola karena sepakbola ini populer di masyarakat dan bisa diterima di semua kalangan masyarakat,” ujar Karmala.

Dalam menyelenggarakan kompetisi ini, Rumah Cemara mendapat dukungan melalui Allan Taylor Grant dari Department of Foreign and Trade, Kedutaan Besar Australia. Kompetisi LoC sendiri dijadwalkan berlangsung hingga Selasa (28/2). Dalam kompetisi ini peserta dibagi menjadi dua grup. Di grup A tergabung tim dari Sumatera Utara, DI Yogyakarta, Banten, dan Jawa Timur. Sedangkan grup B diisi oleh tim dari Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan DKI Jakarta. Kemudian dari setiap grup, tim yang tampil sebagai juara grup akan melawan runner up grup lainnya hingga tersisa 2 tim untuk berlaga di partai final.
Trofi LoC

Trofi yang akan diperebutkan peserta LoC ini terbilang cukup unik. Trofi tersebut terbuat dari bola yang penuh dengan tusukan jarum suntik dan disangga empat botol obat-obatan, serta didampingi sebuah sepatu sepakbola. Menurut Ginan, trofi tersebut mempunyai makna bahwa walaupun beberapa dari mereka hidup dengan HIV AIDS atau NAPZA, bisa menggunakan sepakbola sebagai salah satu alat untuk meningkatkan kualitas hidupnya serta sebagai sebuah bentuk pemberdayaan sosial.

Itulah kenapa simbolnya sepatu dan bola dengan jarum suntik. Karena itulah (sepakbola) yang menyatukan kami,” ujar Ginan.