Monday, March 5, 2012

Lewat Fisika, Hokky Buktikan “Rasa Sayange” Milik Indonesia


Beberapa hari lalu, tepatnya Kamis (1/3) pagi, linimasa di jejaring sosial Twitter ramai membincangkan lagu Rasa Sayange hingga lagu tersebut menjadi trending topic Twitter di Indonesia. Hari itu masyarakat Indonesia bersorak karena salah satu ilmuwan mudanya, Hokky Situngkir, telah berhasil membuktikan secara ilmiah melalui penelitiannya bahwa lagu Rasa Sayange adalah lagu tradisional asli milik Indonesia, tepatnya Maluku.
Hokky Situngkir

Pembuktian ilmiah melalui fisika ini seolah mematahkan klaim negeri tetangga Malaysia yang sempat memakai lagu tradisional ini dalam kampanye pariwisatanya, "Malaysia Trully Asia", akhir 2007 lalu. Saat itu masyarakat Indonesia geram dan menuduh Malaysia telah mencuri salah satu kebudayaan asli Indonesia karena ‘klaim’ lagu Rasa Sayange tersebut. Peristiwa ini juga seolah memperpanjang daftar perselisihan dua negara serumpun yang kerap bersitegang karena ‘saling klaim’, baik itu budaya maupun wilayah teritorial tersebut.

Seolah tertantang, Hokky Situngkir bersama rekan-rekan peneliti di Bandung Fe Institute melakukan penelitian mengenai keaslian lagu Rasa Sayange tersebut. Walaupun demikian, Hokky mengatakan bahwa tujuan utama dari penelitiannya tersebut bukanlah untuk membuktikan dari mana lagu Rasa Sayange itu berasal, melainkan ingin membuat suatu pusat data kebudayaan Indonesia dan menunjukkan keberagaman budaya yang menarik dari Indonesia. Ia pun tak ingin bila penemuannya ini justru dipolitisir, baik itu oleh pihak Indonesia maupun Malaysia.

“Kita ingin menggali aspek-aspek kompleks dari pengetahuan kolektif orang-orang Indonesia. Dan itu bisa dibilang juga pertama di Indonesia. 60 tahun lebih kita merdeka, kita belum punya pusat data kebudayaan,” ujar Hokky ketika ditemui di Bandung Fe Institute, Jalan Sarimadu, Sarijadi, Bandung, Sabtu (3/3) lalu.

Hokky dan kawan-kawannya di Bandung Fe, sejak didirikan tahun 2004, sudah melakukan penelitian mengenai berbagai hal sosial, termasuk mengumpulkan data-data kebudayaan Indonesia. Bandung Fe mengumpulkan orang-orang dan membentuk semacam organisasi, yaitu Inisiatif Budaya Kepulauan Indonesia atau Indonesian Archipelago Culture Inisiative (IACI). Melalui pengumpulan data yang bersifat partisipatif, mereka akhirnya bisa mengumpulkan beberapa data kebudayaan, tidak hanya lagu daerah tetapi juga pakaian, tarian, alat musik, bangunan arsitektur, hingga obat-obatan tradisional.
Menjelaskan phylomemetic.

Penelitian mengenai lagu-lagu tradisional sendiri menurut Hokky sudah dimulai sejak tahun 2008. Dalam penelitian ini sendiri Hokky menggabungkan berbagai disiplin ilmu, tidak hanya bidang yang ia kuasai yaitu fisika, melainkan bidang lainnya seperti matematika, antropologi, etnomusikologi, dan lain-lain. Sebelum data dimasukkan ke komputer, terlebih dahulu diverifikasi keasliannya oleh para budayawan dan antropolog. Menurutnya, sebuah lagu tradisional adalah sebuah kriya yang diciptakan secara kolektif oleh masyarakat, jadi tak ada penciptanya.

“Lagu tradisional adalah suatu entitas kompleks kebudayaan, karena disusun oleh banyak hal. Ada nada, lalu ada sekuennya, ada juga aksen, lirik, timbre (warna suara yang mengikatnya), ada juga jarak dari penyanyi dan pendengarnya. Nah, dari situ kita lihat apa kira-kira unsur elementer yang bisa membedakan satu lagu dengan lagu lain sebagai abstraksi kognisi kolektif dari masyarakat tersebut. Ternyata bukan nada, melainkan sekuennya,” ujar alumni Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung angkatan 1996 itu.

Lalu setelah data terkumpul, ia melakukan semacam pemetaan dari lagu-lagu tradisional tersebut. Lagu-lagu tradisional tersebut ia bedah menjadi bagian-bagian terkecil. Data dimasukkan ke komputer dengan menggunakan metode dalam studi mekanika statistik untuk dicari parameter yang membentuk pita meme dari sebuah lagu. Adapun lima parameter yang membentuk suatu pita meme sebuah lagu adalah koefisien Zipf-Mandelbrot, girasi, koefisien spiral, entropi, dan negentropi.

Hokky mengatakan bahwa ia menyerahkan sepenuhnya pengolahan data kepada komputer agar unsur subjektivitas dalam penelitiannya bisa dikurangi. Setelah itu, baru ia dan kawan-kawannya menganalisis hasil dari data yang telah diolah tersebut secara manual. 

“Jadi ketahuan sekuen nadanya lagu A mirip dengan yang mana, nanti kelihatan trennya karena mereka mengelompok dengan sendirinya. Jadilah peta lagu-lagu tradisional Indonesia,” lanjutnya sambil memperlihatkan gambar pohon kekerabatan (phylomemetic) lagu tradisional Indonesia yang dibuatnya.
Pohon Kekerabatan Lagu Tradisional Indonesia (courtesy of Bandung Fe)

Dari pohon kekerabatan lagu tradisional Indonesia tersebut terlihat bahwa lagu Rasa Sayange tergabung dalam kelompok lagu-lagu dari daerah Maluku. Letaknya yang agak jauh dengan lagu-lagu berlanggam Melayu menunjukkan bahwa unsur kekerabatannya juga agak jauh.

“Nah ini yang menarik bagi kita yang membuat kita juga agak sontak sekaligus senang. Jadi kemiripan itu terkluster sendiri. Lagu tersebut mengelompok sendiri sesuai dengan daerah. Jadi memang ada karakteristik dari satu lagu dengan lagu lain itu yaitu ketika dia dihasilkan dari kumpulan kognisi kolektif yang sama dari kelompok etnis yang sama,” ujar cucu komponis besar Indonesia, L. Manik ini.

Sebelum membuat pohon kekerabatan lagu tradisional Indonesia, Hokky sendiri pernah membuat peta keragaman tekstil (batik) Indonesia. Penelitiannya sendiri menggunakan metode yang mirip. Bahkan menurut Hokky, metode penelitiannya ini juga kini sudah dipakai di negara lain untuk meneliti berbagai hal.
Pohon Kekerabatan Tekstil Tradisional Indonesia (courtesy of Bandung Fe)

“Ada kemarin di Kanada yang mau bikin peta kekerabatan game komputer di dunia dengan metode yang sama seperti yang kita gunakan. Ada juga disertasi pola struktur arsitektur bangunan-bangunan kuno di semanjung Itali. Mungkin di situlah letak kebaruan penelitian kita. Pemetaan seperti ini banyak dipengaruhi oleh pengkajian biologi evolusioner,” lanjut peneliti yang lahir 7 Februari 1978 ini.

Hokky mengakui bahwa pohon kekerabatan tersebut belum memuat semua lagu tradisional Indonesia karena data yang terkumpul baru sekitar 200-300an lagu. Ia berharap agar masyarakat Indonesia bisa ikut berpartisipasi untuk ikut mengumpulkan data kebudayaan Indonesia. Masyarakat bisa menyumbangkan data kebudayaan, baik itu lagu, alat musik, pakaian daerah, tarian, atau adat istiadat lainnya ke situs www.budaya-indonesia.org.

“Mendata kebudayaan Indonesia tuh terlalu mahal kalau dilakukan sendiri. Itu sebabnya juga mungkin kenapa pemerintah sampai sekarang juga belum punya bank data karena terlalu mahal, terlalu besar. Nah generasi kita tuh diuntungkan dengan adanya internet jadi bisa ala wikipedia, siapa pun boleh mensubmit data,” ujarnya.

Ia juga berharap hasil penelitiannya ini bermanfaat tidak hanya bidang sains saja, tetapi di semua bidang terutama bidang sosial dan humaniora lainnya. Menurutnya, selama ini pengetahuan atau ilmu yang ada itu kebanyakan diimpor dari Barat. Padahal, lanjutnya, Indonesia pernah menjadi pusat penyebaran agama Budha atau Hindu, pernah juga membangun Borobudur yang sangat megah.

“Itu kemana ilmunya? Mungkin ini terkodekan dalam lagu-lagu, di prasasti, di bangunan kuno, di relief, di batik, dan lain-lain. Ini yang mau kita gali. Siapa tahu minimal kita punya pemetaan, tapi kalau ada ini jadi satu keuntungan buat kita. Biar bisa kita padukan dengan ilmu dari barat yang kita punya,” ujarnya. ***

Catatan: Tulisan ini dimuat di Tribun Jabar edisi Selasa (6/3) halaman 1.

Asal Usul Ungkapan "Makan Hati" versi Gue

"Ah makan ati gw kalo nge-sms dia, kagak pernah dibales!" - sebut saja Bunga, remaja lagi galau.
Mungkin di antara kalian semua pernah ngerasain seperti apa yang dirasakan Bunga. Kalian pasti pernah ngerasain yang namanya "Makan Hati", baik dalam arti sebenarnya maupun arti kiasan. Makan Hati itu semacam ungkapan yang berarti kesel, dongkol, karena perbuatan orang lain. Kalo kata wikipedia Indonesia, peribahasa lengkapnya "Makan Hati Berulam Jantung" artinya suasana hati sangat sedih; seperti orang tua melihat kelakuan anaknya yang buruk yang sukar diperbaiki. Kalo kata wikipedia Malaysia, artinya bersusah hati kerana perbuatan orang lain yang menyedihkan hati. Sama aja sih sebenernya. (Plis jangan ampe ada berita kalo ungkapan aja saling klaim milik siapa).

Oke, terus? Kenapa gw tiba-tiba ngomongin peribahasa itu? Sebenarnya ini pikiran gw pas lagi jobless aja. Kebetulan gw juga waktu itu lagi makan hati alias dongkol karena berita gw gagal naek gara-gara spacenya dipake iklan. Mungkin karena berita gw gak penting juga. Tapi itu lembaran khusus, 3 halaman ilang semua dipake iklan. Sebagai wartawan baru, itu pengalaman baru bagi gw karena baru pertama kali ngerasain begitu. Tapi ya sudahlah mau gimana lagi, toh media juga gak bakalan bisa hidup tanpa iklan. Hanya saja pasti bagian redaksi alias berita yang bakal jadi korban.

Cukup curhatnya. Nah pas lagi dongkol itu, tiba-tiba gw kepikiran "Kenapa kalo kesel itu istilahnya 'makan hati' ?". "Apa karena rasa hati itu pait?" Lah gw makan hati yang disemur buatan nyokap enak-enak aja tuh. Kalo makan hati itu diartikan seperti itu karena rasa hati yang pait, kenapa peribahasanya nggak 'makan pare' atau 'makan brotowali' yang jelas-jelas lebih pait? *emotikon kesel* Sebenernya emang gak penting juga sih mikirin yang kayak gini, tapi ini terus mengusik gw.

Dalam perjalanan balik ke rumah, tiba-tiba gw teringat cerita legenda rakyat Jawa Barat, yaitu Sangkuriang. Cerita singkatnya gini, ada seorang putri raja yang cantik bernama Dayang Sumbi. Banyak raja yang ingin melamarnya, tapi semuanya ditolak. Raja-raja yang galau tersebut pun berperang. Sementara itu si Dayang Sumbi pergi mengasingkan diri ditemani seekor anjing jantan bernama Si Tumang.

Satu ketika Dayang Sumbi menenun di atas pohon. Tiba-tiba toropong (torak) yang lagi dipakenya jatuh ke bawah. Karena dia males buat ngambil, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang jatuh itu kalo cowok, akan dijadikan suaminya. Lalu ternyata si Tumang yang ngambilin torak itu. Dayang Sumbi yang udah kepalang janji akhirnya menikah dengan si Tumang dan melahirkan bayi laki-laki diberi nama Sangkuriang.

Sangkuriang ceritanya udah gede. Lalu disuruh ibunya, Dayang Sumbi, untuk berburu dengan ditemani si Tumang. Sangkuriang belum tau kalo si Tumang itu bapaknya. Sampai di hutan, si Tumang disuruh ngejar babi betina, tapi dia gak mau. Karena kesel, dibunuhlah si Tumang oleh Sangkuriang. Hatinya dibawa dan dikasih ke Dayang Sumbi yang kemudian memasak dan memakannya. Pas Dayang Sumbi tau kalo hati yang dia makan itu hati si Tumang, suaminya, ia murka dan memukul kepala Sangkuriang ampe berdarah. Sangkuriang pun diusir dan pergi mengembara....

Oke kita stop sampai di sini dulu ceritanya, buat yang mau baca cerita lengkapnya cari aja sendiri buku cerita rakyat atau baca di sini. Kalo gw cermati, dari cerita itu, gw mikir si Dayang Sumbi kesel banget ampe mukul anaknya sendiri ampe berdarah gara-gara makan hati (dalam arti sebenarnya) suaminya sendiri, si Tumang. Dari kejadian itu, dulu mungkin tiap orang yang lagi kesel diledekin sama temen-temennya, "Kenapa sih dongkol banget kayaknya, makan hati lu ya?" Gitu kali. Karena sering dipake orang-orang, itu jadi turun temurun dari jaman Sangkuriang ampe jaman sekarang. (hey, it's #rhyme!) Mungkin kalo jaman sekarang "Lagi PMS" atau "Lagi dapet" itu konotasinya bisa aja jadi "Lagi kesel" atau "lagi marah".

Nah IMSO (in my sotoy opinion), mungkin dari sinilah asal mula kenapa perasaan kesel, sedih, dongkol, dan sejenisnya karena perbuatan orang lain itu diistilahkan dengan "Makan Hati". Entah bener apa nggak, kebetulan atau nggak, itu cuma analisis dan pemikiran iseng bin ngasal gw.