Beberapa hari lalu, tepatnya Kamis (1/3) pagi, linimasa
di jejaring sosial Twitter ramai membincangkan lagu Rasa Sayange hingga lagu
tersebut menjadi trending topic
Twitter di Indonesia. Hari itu masyarakat Indonesia bersorak karena salah satu
ilmuwan mudanya, Hokky Situngkir, telah berhasil membuktikan secara ilmiah melalui
penelitiannya bahwa lagu Rasa Sayange adalah lagu tradisional asli milik Indonesia,
tepatnya Maluku.
Hokky Situngkir |
Pembuktian ilmiah melalui fisika
ini seolah mematahkan klaim negeri tetangga Malaysia yang sempat memakai lagu
tradisional ini dalam kampanye pariwisatanya, "Malaysia Trully Asia", akhir 2007
lalu. Saat itu masyarakat Indonesia geram dan menuduh Malaysia telah mencuri
salah satu kebudayaan asli Indonesia karena ‘klaim’ lagu Rasa Sayange tersebut.
Peristiwa ini juga seolah memperpanjang daftar perselisihan dua negara serumpun
yang kerap bersitegang karena ‘saling klaim’, baik itu budaya maupun wilayah
teritorial tersebut.
Seolah tertantang, Hokky Situngkir
bersama rekan-rekan peneliti di Bandung Fe Institute melakukan penelitian
mengenai keaslian lagu Rasa Sayange tersebut. Walaupun demikian, Hokky
mengatakan bahwa tujuan utama dari penelitiannya tersebut bukanlah untuk
membuktikan dari mana lagu Rasa Sayange itu berasal, melainkan ingin membuat
suatu pusat data kebudayaan Indonesia dan menunjukkan keberagaman budaya yang
menarik dari Indonesia. Ia pun tak ingin bila penemuannya ini justru
dipolitisir, baik itu oleh pihak Indonesia maupun Malaysia.
“Kita ingin menggali aspek-aspek
kompleks dari pengetahuan kolektif orang-orang Indonesia. Dan itu bisa dibilang
juga pertama di Indonesia. 60 tahun lebih kita merdeka, kita belum punya pusat
data kebudayaan,” ujar Hokky ketika ditemui di Bandung Fe Institute, Jalan
Sarimadu, Sarijadi, Bandung, Sabtu (3/3) lalu.
Hokky dan kawan-kawannya di Bandung
Fe, sejak didirikan tahun 2004, sudah melakukan penelitian mengenai berbagai
hal sosial, termasuk mengumpulkan data-data kebudayaan Indonesia. Bandung Fe
mengumpulkan orang-orang dan membentuk semacam organisasi, yaitu Inisiatif
Budaya Kepulauan Indonesia atau Indonesian Archipelago Culture Inisiative
(IACI). Melalui pengumpulan data yang bersifat partisipatif, mereka akhirnya
bisa mengumpulkan beberapa data kebudayaan, tidak hanya lagu daerah tetapi juga
pakaian, tarian, alat musik, bangunan arsitektur, hingga obat-obatan
tradisional.
Menjelaskan phylomemetic. |
Penelitian mengenai lagu-lagu
tradisional sendiri menurut Hokky sudah dimulai sejak tahun 2008. Dalam
penelitian ini sendiri Hokky menggabungkan berbagai disiplin ilmu, tidak hanya
bidang yang ia kuasai yaitu fisika, melainkan bidang lainnya seperti
matematika, antropologi, etnomusikologi, dan lain-lain. Sebelum data dimasukkan
ke komputer, terlebih dahulu diverifikasi keasliannya oleh para budayawan dan
antropolog. Menurutnya, sebuah lagu tradisional adalah sebuah kriya yang
diciptakan secara kolektif oleh masyarakat, jadi tak ada penciptanya.
“Lagu tradisional adalah suatu entitas
kompleks kebudayaan, karena disusun oleh banyak hal. Ada nada, lalu ada
sekuennya, ada juga aksen, lirik, timbre (warna suara yang mengikatnya), ada
juga jarak dari penyanyi dan pendengarnya. Nah, dari situ kita lihat apa
kira-kira unsur elementer yang bisa membedakan satu lagu dengan lagu lain
sebagai abstraksi kognisi kolektif dari masyarakat tersebut. Ternyata bukan
nada, melainkan sekuennya,” ujar alumni Teknik Elektro Institut Teknologi
Bandung angkatan 1996 itu.
Lalu setelah data terkumpul, ia melakukan
semacam pemetaan dari lagu-lagu tradisional tersebut. Lagu-lagu tradisional
tersebut ia bedah menjadi bagian-bagian terkecil. Data dimasukkan ke komputer
dengan menggunakan metode dalam studi mekanika statistik untuk dicari parameter
yang membentuk pita meme dari sebuah lagu. Adapun lima parameter yang membentuk
suatu pita meme sebuah lagu adalah koefisien Zipf-Mandelbrot, girasi, koefisien
spiral, entropi, dan negentropi.
Hokky mengatakan bahwa ia
menyerahkan sepenuhnya pengolahan data kepada komputer agar unsur subjektivitas
dalam penelitiannya bisa dikurangi. Setelah itu, baru ia dan kawan-kawannya
menganalisis hasil dari data yang telah diolah tersebut secara manual.
“Jadi ketahuan sekuen nadanya lagu
A mirip dengan yang mana, nanti kelihatan trennya karena mereka mengelompok
dengan sendirinya. Jadilah peta lagu-lagu tradisional Indonesia,” lanjutnya
sambil memperlihatkan gambar pohon kekerabatan (phylomemetic) lagu
tradisional Indonesia yang dibuatnya.
Pohon Kekerabatan Lagu Tradisional Indonesia (courtesy of Bandung Fe) |
Dari pohon kekerabatan lagu
tradisional Indonesia tersebut terlihat bahwa lagu Rasa Sayange tergabung dalam
kelompok lagu-lagu dari daerah Maluku. Letaknya yang agak jauh dengan lagu-lagu
berlanggam Melayu menunjukkan bahwa unsur kekerabatannya juga agak jauh.
“Nah ini yang menarik bagi kita
yang membuat kita juga agak sontak sekaligus senang. Jadi kemiripan itu
terkluster sendiri. Lagu tersebut mengelompok sendiri sesuai dengan daerah.
Jadi memang ada karakteristik dari satu lagu dengan lagu lain itu yaitu ketika
dia dihasilkan dari kumpulan kognisi kolektif yang sama dari kelompok etnis
yang sama,” ujar cucu komponis besar Indonesia, L. Manik ini.
Sebelum membuat pohon kekerabatan
lagu tradisional Indonesia, Hokky sendiri pernah membuat peta keragaman tekstil
(batik) Indonesia. Penelitiannya sendiri menggunakan metode yang mirip. Bahkan
menurut Hokky, metode penelitiannya ini juga kini sudah dipakai di negara lain
untuk meneliti berbagai hal.
Pohon Kekerabatan Tekstil Tradisional Indonesia (courtesy of Bandung Fe) |
“Ada kemarin di Kanada yang mau
bikin peta kekerabatan game komputer di dunia dengan metode yang sama seperti
yang kita gunakan. Ada juga disertasi pola struktur arsitektur
bangunan-bangunan kuno di semanjung Itali. Mungkin di situlah letak kebaruan
penelitian kita. Pemetaan seperti ini banyak dipengaruhi oleh pengkajian
biologi evolusioner,” lanjut peneliti yang lahir 7 Februari 1978 ini.
Hokky mengakui bahwa pohon
kekerabatan tersebut belum memuat semua lagu tradisional Indonesia karena data
yang terkumpul baru sekitar 200-300an lagu. Ia berharap agar masyarakat Indonesia
bisa ikut berpartisipasi untuk ikut mengumpulkan data kebudayaan Indonesia.
Masyarakat bisa menyumbangkan data kebudayaan, baik itu lagu, alat musik,
pakaian daerah, tarian, atau adat istiadat lainnya ke situs
www.budaya-indonesia.org.
“Mendata kebudayaan Indonesia tuh
terlalu mahal kalau dilakukan sendiri. Itu sebabnya juga mungkin kenapa
pemerintah sampai sekarang juga belum punya bank data karena terlalu mahal,
terlalu besar. Nah generasi kita tuh diuntungkan dengan adanya internet jadi
bisa ala wikipedia, siapa pun boleh mensubmit data,” ujarnya.
Ia juga berharap hasil
penelitiannya ini bermanfaat tidak hanya bidang sains saja, tetapi di semua
bidang terutama bidang sosial dan humaniora lainnya. Menurutnya, selama ini
pengetahuan atau ilmu yang ada itu kebanyakan diimpor dari Barat. Padahal,
lanjutnya, Indonesia pernah menjadi pusat penyebaran agama Budha atau Hindu,
pernah juga membangun Borobudur yang sangat megah.
“Itu kemana ilmunya? Mungkin ini
terkodekan dalam lagu-lagu, di prasasti, di bangunan kuno, di relief, di batik,
dan lain-lain. Ini yang mau kita gali. Siapa tahu minimal kita punya pemetaan,
tapi kalau ada ini jadi satu keuntungan buat kita. Biar bisa kita padukan
dengan ilmu dari barat yang kita punya,” ujarnya. ***
Catatan: Tulisan ini dimuat di Tribun Jabar edisi Selasa (6/3) halaman 1.